Pernahkah anda memiliki sesuatu yang tidak anda sadari betapa pentingnya dia hingga anda kehilangan benda itu? Saya sering mengalami hal semacam itu. Misalnya, lampu senter. Ketika arus listrik mengalir lancar, saya sering tidak peduli pada keberadaan lampu senter itu. Namun, ketika lampu mati, saya kelimpungan mencari-cari dimana saya meletakkan benda kecil itu. Tiba-tiba saja saya merasakan betapa berharganya sebuah lampu senter. Dan betapa hidup saya bergantung kepadanya.
Ketika seluruh ruangan dirumah saya menjadi gelap gulita,
saya baru menyadari bahwa saya telah menyia-nyiakan sang lampu senter selama
ini. Itu hanya soal lampu senter. Bayangkan seandainya itu menyangkut sesuatu
yang sangat menentukan kelangsungan hidup kita? Misalnya pekerjaan yang kita
miliki ini. Bukankah kita sering kurang menyadari betapa berharganya pekerjaan
kita ini; sampai-sampai kita lebih sering mengeluh daripada mensyukurinya?
Beberapa waktu yang lalu saya mampir ke sebuah mal. Ada hal aneh di mal
itu, namun saya tidak begitu yakin apa penyebabnya. Setelah cukup lama berkutat
dengan rasa penasaran, akhirnya saya menemukan kejanggalan itu. Di Mal itu, ada
beberapa outlet yang menghilang. Salah satunya adalah counter makanan kecil
dimana saya biasa membeli kuaci untuk cemilan selagi menonton televisi. Ada
outlet fashion yang berubah menjadi ruangan kosong melompong, sebuah restoran
yang raib, dan space sebuah cafe yang tinggal setengahnya.
Untuk sejenak saya terpana. Membayangkan orang-orang yang beberapa hari
lalu ada di mal ini untuk melayani pelanggan-pelanggannya. Namun, hari ini
mungkin mereka berada dirumah, tanpa tahu kapan akan kembali melakukan
pekerjaannya lagi. Anda yang tidak pernah kehilangan pekerjaan mungkin tidak
akan mampu membayangkan betapa beratnya itu. Tapi mereka yang mengalaminya, tahu
persis bagaimana rasanya. Pertanyaannya adalah; apakah kita harus menunggu
kehilangan terlebih dahulu untuk bisa benar-benar menyadari betapa bernilainya
pekerjaan kita ini?
Pengabaian kita terhadap pekerjaan memiliki bobot yang lebih berat
dibandingkan dengan pengabaian kita kepada benda-benda kecil seperti lampu
senter tadi. Mengapa? Karena kita seringkali menganggap bahwa ’kitalah sang
pemilik’ pekerjaan itu. Oleh karena itu, sebagai pemilik kita merasa memiliki
segala kewenangan untuk memperlakukan kepemilikan kita itu sesuka hati kita.
Padahal, faktanya; ’kita bukanlah pemilik pekerjaan itu’. Perusahaan tempat kita
bekerjalah yang memilikinya. Bukan kita. Buktinya, jika perusahaan ingin
mengambil kembali pekerjaan yang kita pegang, maka kita dengan sukarela atau
terpaksa mesti ’mengembalikan’ pekerjaan itu kepada perusahaan.
Jebakan rasa kepemilikan semu itu menimbulkan otoritas imitatif pada
kebanyakan pekerja. Sehingga, mereka mengira boleh bersikap apapun terhadap
pekerjaannya.
Ya, namanya juga pemilik. Mau melakukan apapun semau-maunya juga boleh
saja, bukan? Makanya, begitu banyak orang yang terlambat menyadari bahwa
pekerjaannya benar-benar berharga, yaitu ketika mereka kehilangan pekerjaannya.
Sebaliknya, ketika mereka masih ’memiliki’ pekerjaan itu, mereka cenderung
mengabaikannya.
Salah satu ciri paling umum orang yang seperti itu adalah; mereka
tidak sungguh-sungguh menuangkan seluruh potensi dan kapasitas dirinya
untuk menghasilkan kinerja terbaik dalam pekerjaannya. Mereka mengira bahwa
dengan tidak menggunakan kapasitas dirinya itu, perusahaan yang akan rugi.
Padahal, kerugian paling besar dialami oleh dirinya sendiri. Mengapa
begitu?
Ada 2 alasan. Pertama, dengan tidak mencurahkan seluruh potensi dirinya
secara optimal akan memperkuat alasan bagi perusahaan untuk mencari orang lain
yang bisa menggantikannya. Kedua, tidak mendayagunakan potensi diri sama artinya
menyia-nyiakan anugerah yang telah Tuhan berikan kepadanya. Bukankah Tuhan pun
belum tentu suka kepada orang yang menyia-nyiakan anugerahNya?
Ciri lainnya adalah; rendahnya tingkat disiplin kerja mereka. Orang-orang
yang percaya bahwa pekerjaannya berharga tidak mungkin mengabaikan disiplin
diri dalam bekerja. Sebab, mereka tahu bahwa perusahaan bisa sewaktu-waktu
mengambil pekerjaan itu darinya lalu diberikan kepada orang lain yang lebih bisa
berdisiplin. Dengan kata lain, mereka tahu bahwa satu-satunya cara untuk
mencegah hal itu tidak terjadi adalah; menunjukkan disiplin yang tinggi saat
bekerja. Sebaliknya, orang-orang yang lupa betapa berharganya pekerjaannya
sering menganggap bahwa disiplin mesti dijalankan jika dan hanya jika dia
diawasi. Jika tidak ada yang mengawasi, mengapa mesti berdisiplin tinggi?
Padahal, disiplin adalah urusan pribadi. Karena, kedisiplinan
berhubungan langsung dengan integritas diri. Dengan kata lain, seseorang yang
memiliki integritas diri pasti akan menghargai pekerjaannya. Sehingga selama
bekerja, dia akan bersungguh-sungguh, dan mengerahkan seluruh potensi dirinya.
Untuk mencapai prestasi. Yang tinggi.
Penulis : Dadang Kadarusman