“Sebagian besar orang yang melihat belum tentu bergerak, dan yang bergerak belum tentu menyelesaikan (perubahan). ”
Kalimat ini mungkin sudah pernah Anda baca dalam buku baru Saya, “ChaNge”.
Minggu lalu, dalam sebuah seminar yang diselenggarakan Indosat, iseng-iseng Saya
mengeluarkan dua lembaran Rp 50.000. Ditengah-tengah ratusan orang yang tengah
menyimak isi buku, Saya tawarkan uang itu. “Silahkan, siapa yang mau boleh
ambil,” ujar Saya. Saya menunduk ke bawah menghindari tatapan ke muka audiens
sambil menjulurkan uang Rp 100.000.
Seperti yang Saya duga, hampir semua audiens hanya diam terkesima. Saya
ulangi kalimat Saya beberapa kali dengan mimik muka yang lebih serius. Beberapa
orang tampak tersenyum, ada yang mulai menarik badannya dari sandaran kursi,
yang lain lagi menendang kaki temannya. Seorang ibu menyuruh temannya maju,
tetapi mereka semua tak bergerak. Belakangan, dua orang pria maju ke depan
sambil celingak-celinguk. Orang yang maju dari sisi sebelah kanan mulanya
bergerak cepat, tapi ia segera menghentikan langkahnya dan termangu, begitu
melihat seseorang dari sisi sebelah kiri lebih cepat ke depan. Ia lalu kembali
ke kursinya.
Sekarang hanya tinggal satu orang saja yang sudah berada di depan Saya.
Gerakannya begitu cepat, tapi tangannya berhenti manakala uang itu disentuhnya.
Saya dapat merasakan tarikan uang yang dilakukan dengan keragu-raguan. Semua
audiens tertegun.
Saya ulangi pesan Saya, “Silahkan ambil, silahkan ambil.” Ia menatap wajah
Saya, dan Saya pun menatapnya dengan wajah lucu. Audiens tertawa melihat
keberanian anak muda itu. Saya ulangi lagi kalimat Saya, dan Ia pun merampas
uang kertas itu dari tangan Saya dan kembali ke kursinya. Semua audiens tertawa
terbahak-bahak. Seseorang lalu berteriak, “Kembalikan, kembalikan!” Saya
mengatakan, “Tidak usah. Uang itu sudah menjadi miliknya.”
Setidaknya, dengan permainan itu seseorang telah menjadi lebih kaya
Rp.100.000. Saya tanya kepada mereka, mengapa hampir semua diam, tak bergerak.
Bukankah uang yang Saya sodorkan tadi adalah sebuah kesempatan? Mereka pun
menjawab dengan berbagai alasan:
“Saya pikir Bapak cuma main-main ………… ”
“Nanti uangnya toh diambil lagi.”
“Malu-maluin aja.”
“Saya tidak mau kelihatan nafsu. Kita harus tetap terlihat cool!”
“Saya enggak yakin bapak benar-benar akan memberikan uang itu …..”
“Pasti ada orang lain yang lebih membutuhkannya. …”
“Saya harus tunggu dulu instruksi yang lebih jelas…..”
“Saya takut salah, nanti cuma jadi tertawaan doang……. ..”
“Saya, kan duduk jauh di belakang…”
dan seterusnya.
Saya jelaskan bahwa jawaban mereka sama persis dengan tindakan mereka
sehari-hari. Hampir setiap saat kita dilewati oleh rangkaian opportunity
(kesempatan) , tetapi kesempatan itu dibiarkan pergi begitu saja. Kita tidak
menyambarnya, padahal kita ingin agar hidup kita berubah. Saya jadi ingat dengan
ucapan seorang teman yang dirawat di sebuah rumah sakit jiwa di daerah Parung.
Ia tampak begitu senang saat Saya dan keluarga membesuknya. Sedih melihat
seorang sarjana yang punya masa
depan baik terkerangkeng dalam jeruji rumah sakit bersama orang-orang tidak
waras. Saya sampai tidak percaya ia berada di situ. Dibandingkan teman-temannya,
ia adalah pasien yang paling waras. Ia bisa menilai “gila” nya orang di sana
satu persatu dan berbicara waras dengan Saya. Cuma, matanya memang tampak agak
merah. Waktu Saya tanya apakah ia merasa sama dengan mereka, ia pun protes.
“Gila aja….ini kan gara-gara saudara-saudara Saya tidak mau mengurus Saya. Saya
ini tidak gila.
Mereka itu semua sakit…..”. Lantas, apa yang kamu maksud ’sakit’?”
“Orang ’sakit’ (gila) itu selalu berorientasi ke masa lalu, sedangkan Saya
selalu berpikir ke depan. Yang gila itu adalah yang selalu
mengharapkan perubahan, sementara melakukan hal yang sama dari hari ke
hari…..,” katanya penuh semangat.” Saya pun mengangguk-angguk.
Pembaca, di dalam bisnis, gagasan, pendidikan, pemerintahan dan sebagainya,
Saya kira kita semua menghadapi masalah yang sama. Mungkin benar kata teman Saya
tadi, kita semua mengharapkan perubahan, tapi kita tak tahu harus mulai dari
mana. Akibatnya kita semua hanya melakukan hal yang sama dari hari ke hari, Jadi
omong kosong perubahan akan datang.
Perubahan hanya bisa datang kalau orang-orang mau bergerak bukan hanya
dengan omongan saja.
Dulu, menjelang Soeharto turun orang-orang sudah gelisah, tapi tak banyak
yang berani bergerak. Tetapi sekali bergerak, perubahan seperti menjadi tak
terkendali, dan perubahan yang tak terkendali bisa menghancurkan misi perubahan
itu sendiri, yaitu perubahan yang menjadikan hidup lebih baik. Perubahan akan
gagal kalau pemimpin-pemimpinny a hanya berwacana saja. Wacana yang kosong akan
destruktif.
“Manajemen tentu berkepentingan terhadap bagaimana menggerakkan orang-orang
yang tidak cuma sekedar berfikir, tetapi berinisiatif, bergerak, memulai, dan
seterusnya.”
Get Started. Get into the game. Get into the playing field, Now. Just do
it!
“Janganlah mereka dimusuhi, jangan inisiatif mereka dibunuh oleh
orang-orang yang bermental birokratik yang bisanya cuma bicara di dalam rapat
dan cuma membuat peraturan saja.”
Makanya tranformasi harus bersifat kultural, tidak cukup sekedar
struktural. Ia harus bisa menyentuh manusia, yaitu manusia-manusia yang aktif,
berinisiatif dan berani maju.
Manusia pemenang adalah manusia yang responsif. Seperti kata Jack Canfield,
yang menulis buku Chicken Soup for the Soul, yang membedakan antara winners
dengan losers adalah :
“Winners take action…they simply get up and do what has to be done…”.
Selamat bergerak!
By : Rhenald Kasali